Oleh: Syafira Khairani
Jum’at, 24 Februari 2023 – Indonesian NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyelenggarakan webinar WGWC Talk bertema “Can We Find a Missing Peace in Youth Camp ‘Muda Toleran’ Program?” yang merupakan rangkaian agenda kolaborasi yang diinisiasi oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan Working Group on Women and Countering/Preventing Extremism (WGWC) dalam bentuk serial talkshow.
Menurut Steering Committee WGWC, Debbie Affianty Lubis, penelitian mengenai pemuda dan keterlibatannya dalam ranah perdamaian dan keamanan masih understudied. Sehingga, harapannya, diskusi ini dapat menjadi ruang aman bagi orang muda memberikan banyak perspektif mengenai perdamaian dan bagaimana penyebaran kekerasan ekstremisme dapat dicegah bersama. “Disini kita akan melihat bagaimana pemuda malah menjadi pelopor perdamaian. Ini sejalan dengan resolusi DK PBB tahun 2015 mengenai Youth, Peace and Security” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Abdul Waidl selaku Senior Program Officer INFID juga menambahkan bahwa INFID juga memiliki concern yang besar dalam mendorong partisipasi bermakna orang muda untuk mewujudkan Indonesia yang nyaman bagi keberagaman. Hal ini menjadi landasan diselenggarakannya Youth Camp ‘Muda Toleran’ pada tahun lalu dengan mengundang 30 orang muda dari berbagai etnis, agama, daerah, dan suku.
“INFID mendorong anak muda untuk menjadi agen atau aktor aktif bagaimana menjaga Indonesia yang bisa dihuni secara nyaman oleh warga negaranya yang beragam atau berbeda agama dan keyakinan” ungkapnya.
Harapannya, diskusi ini akan banyak memperoleh pengalaman orang muda mengenai keberagaman dan pluralisme, serta mengetahui bentuk-bentuk diskriminasi apa yang minoritas kerap alami dan rasakan. Dirinya juga berharap diskusi ini “akan memberikan usulan yang baik bagi bangsa ke depan dan mendapatkan ruang yang bisa didorong bersama pemerintah dan masyarakat sipil.”
Pada kesempatan ini, Bayu Satria, alumni Youth Fellowship INFID 2021, memoderatori jalannya diskusi. Para alumni Youth Camp "Muda Toleran" yang diselenggarakan bersama Gusdurian pada September 2022 lalu di Yogyakarta hadir sebagai narasumber. Diantaranya, Kenzie Almeer Oey, Wilsen Yungnata, Qanita Qamarunisa, Ryan Richard Rihi, Nurul Annisa Ladjaji. Serta turut hadir Rani Dwi Putri dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM yang memberikan tanggapan dan perspektifnya dalam diskusi.
Diskriminasi dan Intoleransi itu Nyata!
Dalam diskusi tersebut, narasumber menyampaikan pengalaman diskriminasi yang mereka dengar, rasakan, dan alami, sebagaimana yang terjadi pada Nurul Annisa Ladjaji yang lahir saat tragedi Poso memuncak. Masyarakat Poso kerap mengalami stigmatisasi karena dikenal sebagai wilayah konflik, penuh teroris, atau perang agama. Prasangka dan asumsi yang berseliweran membuat momok intoleransi semakin tumbuh subur di ladang Indonesia. “Sebenarnya (Poso) sudah jauh dari yang berbau konflik. Saat ini sudah ada konser toleransi dan kebudayaan…”, jelasnya.
Diskriminasi tidak berhenti pada ranah agama saja, identitas seksual berkontribusi pada merebaknya kasus intoleransi di Indonesia. Kinzie Almeer Oey misalnya, yang mengalami predikat ‘triple minority’ karena menjadi seorang mualaf dari etnis Tionghoa dan juga seorang transman.
Kinzie memperoleh banyak tantangan bahkan ancaman dari lingkungannya. “Kadang-kadang orang tua berantem sama saya. Keluarga juga banyak penolakan dan (begitu juga) lingkungan. Ketika aku menjadi mualaf, itu berat banget. Benar-benar kaya bisa dapat ancaman, dapat makian dan banyak teman-teman yang sebenarnya kenal tapi cuma luarnya aja,” terangnya.
Nilai-Nilai Toleransi dalam Keluarga dan Lingkungan
Bentuk-bentuk resiliensi terhadap ancaman intoleransi ini membutuhkan dukungan banyak pihak. Keluarga dan lingkungan tempat tinggal menjadi wadah awal dalam merintis dan memupuk nilai-nilai toleransi dan pluralisme.
“ada satu momen ketika kakak saya tidak mau menyajikan minuman kepada tamu yang datang, kebetulan tamunya seorang Islam dan kakak saya kristen. Ternyata, kakak saya sedang memotong babi jadi nggak mau minyaknya kena minuman atau makanan-makanan,” ujar Ryan yang turut berbagi pengalamannya tinggal di keluarga yang mendukung toleransi.
Qanita Qamarunisa, seorang Jemaat Ahmadiyah, turut menyampaikan bahwa penerimaan terhadap keberagaman itu sudah dipupuk sejak dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya.
“Selain dari lingkungan keluarga ada juga dari lingkungan rumah aku sendiri. Aku lahir dan memang diucapkan (dikenal sebagai Ahmadiyah) di lingkungan. Sebenarnya kalau di lingkungan aku sendiri, lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal, tidak ada masalah,” tambahnya.
Penolakan justru timbul ketika berada di ruang-ruang yang lebih luas. Dirinya mengaku kerap mengalami diskriminasi karena menganut aliran kepercayaan di luar dari mainstream agama Islam. Hal ini membuat dirinya merasa tidak aman dan memutuskan untuk menutup diri dan identitas ketika bergaul di luar dari kelompoknya.
Dalam kesempatan yang sama, Wilsen Yungnata juga menambahkan pengalaman toleransinya dalam lingkup keluarga dimana dirinya seorang Tionghoa Kristen dan orang tua seorang Buddha.
“Saya datang dari keluarga yang toleran karena memang sudah berbeda agama jadi keluarga kami dari dulunya berusaha untuk menghormati agama satu dan lainnya. Tentu saja kepada anaknya dibebaskan untuk menganut agama sendiri,” pungkasnya.
Memecah ‘Sangkar Burung’ melalui Mainstreaming Ruang Dialog Keberagaman
Terciptanya ruang-ruang dialog yang aman dari represi pihak manapun menjadi poin penting dalam diskusi tersebut. Kelima narasumber mengamini bahwa kegiatan Youth Camp ‘Muda Toleran’ yang menjadi ruang perjumpaan antar budaya, etnis, agama, dan gender perlu direplikasi seluas-luasnya untuk memecah berbagai prasangka tak berdasar.
“Selama ini aku melihat Bhinneka Tunggal Ika hanya dalam bentuk teks mata, tapi pada praktiknya tidak terlihat. Dengan kenyataan ini, Youth Camp ‘Muda Toleran’ adalah suatu bentuk yang ideal sebagai warga negara Indonesia yang memang perlu memiliki keterbukaan terhadap perbedaan yang ada disekitarnya,” ungkap Qanita.
Sejalan dengan itu, Kinzie juga mengakui bahwa ruang diskusi secara langsung penting diadakan untuk melihat resonansi semangat toleransi yang menjalar satu dengan yang lainnya.
Ruang perjumpaan ini justru dapat menjadi wadah pemulihan bagi trauma, asumsi, dan prasangka negatif yang sudah terkonstruksi di masyarakat luas. Ryan juga menambahkan bahwa “trauma tidak hanya antar agama A pada agama B, suku A pada suku B. Tetapi bisa di dalam internal agama dan internal diri dengan trauma dan luka yang sama.”
Menutup diskusi ini, periset PSKP UGM, Rani Dwi Putri, menilai pemuda sangat rentan menjadi aktor intoleransi hingga terlibat dalam aksi-aksi ekstremisme karena berada dalam proses pencarian status dan identitas (experiencing identity crisis). Sehingga, untuk meningkatkan resiliensi orang muda dibutuhkan wadah yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan intrapersonal dan interpersonal yang baik selama proses pencarian diri.
“Penting banget bagi kita mengalami langsung perbedaan di lingkungan. Ini membentuk anak muda menjadi seseorang yang mampu melewati masa transisi, menjadi dewasa, dan menjadi seseorang yang punya prinsip dan identitas kuat terhadap toleransi,” tutupnya.