Oleh: Finastri Annisa
5 Tokoh Perempuan Inspiratif Indonesia Pejuang Lingkungan & Menghadapi Krisis Perubahan Iklim
Perempuan memiliki peran penting dalam pelestarian lingkungan. Krisis iklim terus memberikan dampak kerugian dan kerusakan secara luas bagi alam dan manusia. Merusak tempat tinggal, mengganggu mata pencaharian, merusak adat dan kebudayaan masyarakat. Sebuah ancaman serius bagi kesehatan planet bumi. Namun, menurut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), perempuan merupakan pihak yang paling terbebani dengan dampak krisis iklim. Terutama mereka yang tinggal di negara miskin ataupun negara berkembang.
Perempuan terbebani tanggung jawab domestik di tengah sistem patriarki yang masih mengakar. Ketika kerusakan lingkungan terjadi, perempuanlah yang paling banyak merasakan dampaknya. Membuat sumber mata air rusak, udara menjadi buruk, kesehatan keluarga memburuk. Perempuan jadi yang paling kewalahan untuk mengatasinya.
Adanya ketidaksetaraan gender dalam tenaga kerja dan lingkungan juga membuat perempuan terbebani secara ekonomi. Praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab memberikan dampak yang besar bagi lingkungan dan manusia. Seperti kisah Leni dan Maliau, para perempuan yang kehilangan lahan pencaharian mereka akibat perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang tidak mengedepankan pembangunan berkelanjutan dan hak asasi manusia. Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs), peran perempuan sangat besar dalam pelestarian lingkungan. Berikut ini adalah para tokoh perempuan inspiratif di Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi dalam perjuangan menjaga alam.
1. Suswaningsih: Penyulap Tandus Menjadi Teduh
Selama puluhan tahun sejak 1996, Ibu Suswaningsih telah menyulap lahan tandus berbatu dan gersang, di Kelurahan Karangwuni dan Melikan di Kapanewon Rongkop Gunungkidul, menjadi lahan hijau yang bermanfaat dan produktif. Beliau menggerakkan masyarakat untuk mengolah lahan non-produktif menjadi lahan produktif. Mengembangkan tanaman pangan dan kayu-kayuan, serta tanaman lokal.
Ibu Sus, sapaan akrabnya, bekerja di Penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kapanewon Rongkop. Pada Oktober 2021, beliau menerima Penghargaan Kalpataru untuk kategori Pengabdi Lingkungan. Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada yang telah berjasa dalam pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Kalpataru berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti pohon kehidupan.
2. Adelfina Pinga: Perempuan Penjaga Ekosistem Pantai
Ibu Adelfina Pinga, atau biasa dipanggil Vina. Perempuan asli pesisir Pulau Kera yang berusia 48 tahun. Mata pencaharian sehari-hari berasal dari kerang, gurita, rumput laut yang dibudidayakan di pesisir pantai. Hasil tangkapan dan budidaya laut dijualkan ke Kota Kupang. Namun, perubahan iklim mengakibatkan Badai Tropis Seroja di kepulauan NTT pada tahun 2021. Berdasarkan data AHA Centre pada April 2021, badai ini mengakibatkan 509,6 ribu terkena dampak. Sebanyak 181 meninggal, 45 orang hilang, 11,4 ribu mengungsi, 271 terluka, 66 ribu rumah hancur. Dampak iklim yang membuat perahu para nelayan hilang. Frekuensi menangkap hasil laut yang biasanya enam kali seminggu, akibat dampak iklim, hanya bisa dilakukan sebanyak dua kali seminggu.
Bu Vina bersama Kelompok Menjaga Alam, rutin melakukan pembersihan sampah di pinggir pantai, melarang masyarakat buang sampah, melarang angkat kerikil pasir, juga menanam pohon waru. Praktik usaha yang dilakukan oleh Bu Vina mengutamakan ekosistem secara berkelanjutan.
“Kami berusaha menolak orang yang mau membangun di Pasir Panjang, karena aktivitas sehari-hari keluar masuk melalui pantai itu. Pantai dijaga karena tempat budidaya rumput laut,” papar Bu Vina dalam wawancaranya bersama Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial.
Baca Juga: Tantangan Pengarusutamaan HAM, Gender, dan Bisnis yang Berkelanjutan di Sektor Perikanan
3.Roichatul Aswidah: Pejuang HAM, Perempuan, dan Lingkungan
Roichatul Aswida adalah salah satu penulis Kertas Kebijakan berjudul “Pengintegrasian Prinsip-prinsip Pemberdayaan Ekonomi Perempuan dan Ketahanan atas Perubahan Iklim dalam Kebijakan tentang Bisnis dan HAM di Indonesia.”
Ibu Roi, sapaan akrabnya, telah menyelesaikan studi Master of Arts (M.A.) on Human Rights Theory and Practice dari Universitas Essex, Inggris. Beliau juga tercatat aktif di Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (DEMOS) dan di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
“Mendorong pemerintah agar dapat mensinergikan dan mengintegrasikan upaya-upaya mitigasi perubahan iklim dan prinsip-prinsip pemberdayaan perempuan dalam mengimplementasikan UNGPs di Indonesia,” kata Roichatul Aswidah dalam peluncuran kertas kebijakan Bisnis dan HAM secara daring, Rabu (28/7/2021).
Sebagai seorang perempuan yang bergerak di bidang HAM, Ibu Roi turut berpartisipasi mengemukakan buah pikiran untuk merekomendasikan hukum yang adil bagi perempuan dan lingkungan, melalui penulisan rekomendasi kertas kebijakan bersama INFID.
4. Aleta Baun: Perempuan Penenun di Gunung Mutis
Sejak 1996, Aleta Baun atau biasa yang disapa akrab dengan Mama Aleta, berjuang menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman tambang di Gunung Mutis, Mollo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Gunung Mutis memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebuah daerah hulu untuk semua aliran sungai yang memasok air minum dan irigasi bagi penduduk pulau. Selain itu, masyarakat juga mencari makanan dan obat-obatan dari hutan, menanam hasil bumi di wilayah yang subur itu. Pewarna alami tenunan juga diperoleh dari tumbuh-tumbuhan di Gunung Mutis. Ikatan spiritual penduduk dengan Gunung Mutis sangatlah erat.
Ketika tahun 1980-an pemerintah memberikan izin pembukaan lahan dan tambang batu marmer di Molo, warga tidak tahu. Perusahaan masuk ke dalam hutan, menebang pohon, bencana datang. Tanah longsor sampai pencemaran air. Perusahaan terus membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung.
Mama Aleta berjuang sejak tahun 1996 melakukan penolakan. Mengkoordinasi organisasi warga untuk melakukan perlawanan. Melakukan protes di tempat-tempat penambangan marmer, mendudukinya sambil menenun kain. Nyawanya terancam, bahkan perusahaan menawarkan hadiah untuk siapapun yang berhasil membunuh Mama Aleta, yang kala itu menyembunyikan diri di hutan. Perjuangan gigih itu membuahkan hasil pada tahun 2007, Mama Aleta dan warga berhasil menghentikan kerusakan tanah hutan sakral di Gunung Mutis.
“Dalam kebudayaan Molo, kaum perempuan diharapkan menjadi ibu rumah tangga dan merawat keluarga. Namun saat kami protes, kaum perempuan sadar mereka dapat melakukan lebih banyak. Kaum perempuan juga pemilik tanah yang sah dalam kebudayaan Molo. Hak ini kami bangkitkan kembali bagi kaum perempuan yang saat itu belum aktif mengungkapkan pendapat guna melindungi tanah mereka. Suku adat Molo yakin, amatlah penting bagi kaum perempuan berada di garis depan protes dan berperan sebagai juru perunding. Kamilah yang memanfaatkan hutan untuk bertahan hidup. Kaum pria mendukung kami, namun tidak menempatkan diri di garis depan karena kemungkinan besar mereka akan terlibat dalam perkelahian atau konflik dengan perusahaan pertambangan, dan menjadi target serangan. Jadi, saat perempuan aksi, para pria yang berperan di rumah tangga, dari memasak sampai menjaga anak-anak” tutur Mama Aleta dalam wawancaranya dalam acara Meet The Makers di Jakarta.
5. Rikardaa Maa: Penggerak Solidaritas Perempuan Tanah Adat
Sistem patriarki sangat terasa di tanah adat Papua. Pasalnya, perempuan tidak mendapatkan sedikitpun dari hak tanah. Mereka hanya diberikan hak untuk mengelola. Namun, ketika perusahaan kelapa sawit masuk untuk membuka lahan, hanya lelaki yang mengambil keputusan untuk menyerahkan lahan atau tidak. Hal ini dihadapi Rikardaa Maa seorang mantan guru SD, menjadi satu-satunya perempuan Suku Awyu yang menolak masuknya perusahaan di Kampung Ampera, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Sebagian besar Suku Awyu bermukim di wilayah barat Kali Digoel, sebagian lainnya terpencar di sekitar Sungai Mappi Hinggi, hulu Sungai Gondu. Hingga saat ini, Suku Awyu sangat bergantung pada hasil alam, seperti berburu, meramu, dan mencari ikan. Salah satu kerabat keluarga Rika menjual tanah keluarga mereka ke perusahaan. Ayah Rika mendapatkan kompensasi sebesar Rp 10 juta, sedangkan Rp 10 ribu pun Rika tidak dapat. Rika sadar bahwa investor hanya butuh tanda tangan laki-laki pewaris tanah untuk persetujuan. Perempuan kalah hak suara untuk mempertahankan wilayah.
Rika tidak tinggal diam. Dia mencari dukungan dari sesama perempuan. Menggalang tanda tangan dukungan dari para perempuan yang memiliki pandangan sama dengannya. Hingga kemudian solidaritas tersebut membentuk Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat. Rika dan komunitas kerap melakukan penolakan masuknya perusahaan kelapa sawit masuk ke tanah mereka.
Penolakan yang dilakukan Rika juga mendapatkan intimidasi dari lingkungan sekitar, bahkan keluarga sendiri. Banyak ancaman datang kepada Rika. Namun, Rika tetap berjuang bersama solidaritas perempuan. Perjuangan ini hanya mampu menahan perusahaan menunda buka lahan selama satu tahun. Sebab kepala Suku Awyu mendapatkan tekanan dari perusahaan untuk menandatangani pembukaan lahan.
Perempuan, Lingkungan, dan Perubahan Iklim
Perjuangan para perempuan Indonesia masih sangat panjang. Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan terus mengintai. Perjuangan ini tentu tidak bisa dilakukan seorang diri. Perlu dukungan solidaritas yang tinggi, kebijakan lingkungan yang melibatkan perempuan, serta upaya penanggulangan ekosistem yang berkelanjutan.
Sumber:
- https://pslh.ugm.ac.id/perempuan-dan-pelestarian-lingkungan/ (11 Maret 2022) - Perempuan dan Pelestarian Lingkugan
- https://unfccc.int/gender - Introduction to Gender and Climate Change
- https://www.infid.org/news/read/perubahan-iklim-dan-hak-asasi-manusia-hubungannya-dengan-peran-sektor-bisnis (22 Juli 2022) - Perubahan Iklim dan Hak Asasi Manusia, hubungannya dengan peran sketor bisnis.
- https://www.radioidola.com/2021/mengenal-suswaningsih-peraih-penghargaan-kalpataru-2021/ (9 November 2021) - Mengenal Suswaningsih, Peraih Penghargaan Kalpataru 2021
- https://www.youtube.com/watch?v=RHEVNd2yHDU&feature=youtu.be (18 Februari 2022) Perempuan Pesisir Pelindung Pulau
- https://id.wikipedia.org/wiki/Roichatul_Aswidah - Roichatul Aswidah
- https://www.hukumonline.com/berita/a/rekomendasi-infid-terkait-pelaksanaan-bisnis-dan-ham-bagi-perempuan-dan-perubahan-iklim-lt61014ae19aa56?page=all - (28 Juli 2021) - Rekomendasi INFID Terkait Pelaksanaan Bisnis dan HAM bagi Perempuan dan Perubahan Iklim
- https://www.mongabay.co.id/2013/04/15/mama-aleta-berjuang-mempertahankan-lingkungan-melawan-tambang-dengan-menenun/ (13 April 2013) - Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun
- https://betahita.id/news/lipsus/6185/dibungkam-dan-diancam-perempuan-suku-awyu-tetap-bentengi-hutan.html?v=1620934759 (12 Mei 2021) - Dibungkam dan Diancam, Perempuan Suku Awyu Tetap Bentengi Hutan
- https://www.mongabay.co.id/2021/04/21/hutan-ruang-hidup-dorong-pengakuan-hak-perempuan-atas-tanah-di-papua/ (21 April 2021) - Hutan Ruang Hidup, Dorong Pengakuan Hak Perempuan Atas Tanah di Papua
- https://ahacentre.org/news/ (April 2021) - AHA Center - Perempuan Suku Awyu