Oleh: Finastri Annisa
Isu Hak Asasi Manusia (HAM) dewasa ini tak hanya lekat dengan sektor hukum dan politik. Pembahasan mengenai HAM kini juga mulai masuk ke sektor bisnis dan lingkungan hidup. Topik ini lah yang kemudian dibahas dalam acara Seafood Conference yang diadakan oleh Oxfam Indonesia di Surabaya, Jawa Timur pada 13-14 Desember 2022.
INFID melihat dalam sektor bisnis, khususnya di perikanan, terdapat hal-hal berkaitan dengan HAM dan keberlangsungan lingkungan hidup yang harus dipahami oleh para pelakunya.
INFID pun melihat pengarusutamaan HAM dalam sektor bisnis dan menghubungkannya dengan keberlanjutan lingkungan hidup sangat penting. Sebabnya, dunia sedang menghadapi tantangan perubahan iklim. Berikut beberapa sari bahasan penting dari acara tersebut.
Pentingnya Penerapan Prinsip UNGPs
Pendiri Human Right Watch Group (HRWG) Indonesia Rafendi Djamin mengatakan saat ini sudah ada acuan dalam pengarusutamaan HAM di sektor bisnis. Acuan tersebut adalah dokumen United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs).
Di dalam UNGPs disebutkan tiga pilar yang wajib mewujudkan HAM di sektor bisnis. Pilar pertama adalah negara. Lewat kebijakannya, negara diharapkan memastikan tak ada pelanggaran HAM terhadap para pekerja.
Pilar kedua adalah perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan dituntut untuk menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari pelanggaran HAM. Dengan demikian, perusahaan juga harus memenuhi hak-hak dasar pekerja seperti penggajian yang layak, jam kerja yang sesuai, dan lain sebagainya.
Pilar ketiga adalah terpenuhinya hak korban HAM terhadap akses pemulihan. Dengan demikian negara dan perusahaan sebagai dua pilar sebelumnya harus mengakomodasi pemenuhan akses tersebut.
Dalam sektor bisnis perikanan, masalah yang masih sering ditemui menurut Rafendi ialah human trafficking, modern slavery, child labor, dan kekerasan seksual pada pekerja perempuan. Untuk itu, negara dan perusahaan perlu mendesain kebijakan dan lingkungan kerja di sektor perikanan yang bebas dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut, berdasarkan prinsip di UNGPs.
Relasi Perubahan Iklim dan Perlindungan Perempuan di Sektor Perikanan
Adapun Program Officer Human Rights and Democracy INFID Alyaa Nabiilah Zuhroh menambahkan, perubahan iklim juga berkaitan dengan isu perlindungan perempuan di sektor perikanan, khususnya pada budidaya udang.
Alyaa mengatakan berdasarkan data yang ia peroleh, lebih dari 30 persen budidaya perikanan akan terhenti pada 2050 akibat perubahan iklim. Hal tersebut akan berdampak pada perempuan selaku kelompok rentan dalam ekosistem tersebut.
Perubahan iklim yang mengakibatkan penurunan kualitas air dan penurunan kuantitas hasil budidaya tentunya akan mempengaruhi penghasilan para perempuan di sektor tersebut, di mana para perempuan kebanyakan masih bekerja secara informal pula. Kondisi tersebut akan membuat hak para perempuan dalam memperoleh kesetaraan penghasilan dengan pekerja laki-laki semakin terabaikan.
Di lapangan juga masih didapati kurangnya perlindungan dan pengakuan terhadap kelompok perempuan di sektor perikanan. Kedepannya, pemerintah dan perusahaan perlu menindaklanjuti hal tersebut.
Tantangan Pengarusutamaan HAM dan Gender di Sektor Perikanan
Namun, tantangan yang dihadapi di lapangan saat hendak mengarusutamakan pendekatan HAM dan perubahan iklim cukup banyak. Yitno Suprapto dari ASEAN Seafood Informal Collaborative mengatakan ia kesulitan untuk mengecek implementasi HAM dan prinsip bisnis yang berkelanjutan di perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perikanan.
Ia mengatakan hampir tak mungkin menanyakan isu sensitif kepada perusahaan atau bahkan kepada para pekerjanya terkait kejadian kekerasan seksual yang mungkin pernah dialami mereka.
Perlunya Pembudayaan HAM dan Gender dengan Nilai Masyarakat Setempat
Menanggapi hal itu, Rafendi mengatakan diperlukan pendekatan budaya untuk menerapkan prinsip HAM dan bisnis yang sejalan dengan keberlanjutan lingkungan hidup. Untuk itu, pelaksana lapangan harus mampu memetakan faktor-faktor budaya yang dapat digunakan untuk mensosialisasikan dan menanamkan prinsip HAM dan bisnis yang berkelanjutan.
Sementara itu Alyaa mengatakan, dalam upaya pengarusutamaan prinsip HAM dan bisnis berkelanjutan di sektor perikanan, pelaksana terlebih dahulu harus mengenal perusahaan-perusahaan yang disasar.
Adapun Nuraini dari Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Azzahra mengatakan harus dilakukan advokasi secara berkala bagi para perempuan yang memperoleh kekerasan seksual di sektor perikanan.
Selain itu, ia mengusulkan agar perusahaan dan pelaku usaha di sektor perikanan menerapkan aturan yang ketat untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Sedangkan Fuad dari Oxfam Indonesia mengatakan pengimplementasian HAM dan prinsip bisnis yang berkelanjutan juga harus memperhatikan budaya setempat.
Adapun Angga dari Oxfam Indonesia mengatakan pengimplementasian HAM khususnya dalam perlindungan perempuan membutuhkan adanya kecepatan bagi korban dalam melaporkan dan menuntut haknya sebagai korban. Oleh karena itu, perusahaan di sektor perikanan sudah harus menyediakan wadah pelaporan bagi para korban kekerasan seksual.
Peran Perempuan dalam Membangun Sektor Perikanan Berkelanjutan
Perlindungan terhadap perempuan sebagai salah satu bagian dari pengimplementasian HAM dalam sektor perikanan juga menjadi penting. Sebabnya saat ini banyak perempuan yang terlibat di dalamnya. Tak hanya itu, para perempuan juga turut menjadi ujung tombak dalam membangun sektor perikanan yang berkelanjutan.
Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Kiky Anggraini mengatakan saat ini pihaknya tengah memberdayakan perempuan dalam pengelolaan wilayah konservasi perikanan di sebagian wilayah Indonesia timur melalui sistem sasi.
Kiky mengatakan para perempuan itu mengkonservasi wilayah perikanan sekaligus berkontribusi untuk perekonomian keluarga dengan mencari ikan, teripang, dan kepiting bakau di lokasi konservasi.
Selain mengkonservasi wilayah perairan tertentu, para perempuan juga banyak terlibat dalam budidaya udang dan rumput laut.
Adapun YKAN juga meminta para perempuan yang menjadi binaannya untuk mengkonservasi lahan mangrove selain mengurus tambak.
Akses Modal dan Peningkatan Kapasitas Perempuan di Sektor Perikanan
Sementara itu, Analis Pasar Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Artati Widiati juga mengkonfirmasi besarnya jumlah perempuan yang terlibat di sektor perikanan. Para perempuan tersebut banyak terlibat di sektor perikanan budidaya, khususnya budidaya udang dan rumput laut.
Dalam prosesnya, pemerintah melalui KKP juga telah melakukan pengarusutamaan di sektor perikanan. Hal itu dilakukan untuk mencapai kesetaraan.
Adapun kata Artati, KKP telah membantu para perempuan yang terlibat di sektor perikanan untuk memperoleh akses teknologi, informasi, perbankan, dan pendidikan. kami terus control itu Artati mengatakan KKP juga membina para perempuan dalam proses pengolahan ikan dengan memberi bantuan peralatan pengolahan ikan dan sarana penyimpanan ikan. Bantuannya bersifat stimulus sehingga memunculkan kemandirian. Selain itu, Artati mengatakan, KKP juga membantu para perempuan di sektor perikanan untuk proses kewirausahaan. Mereka dibina secara intensif selama 2 tahun dengan akses permodalan.
Saat ini tantangan yang dihadapi KKP dalam membina para perempuan di sektor perikanan adalah dana yang terbatas. Untuk itu, KKP bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat serta perusahaan untuk mewujudkan program pemberdayaan perempuan tersebut.
Pengarusutamaan HAM dan gender serta prinsip bisnis berkelanjutan dengan pendekatan lingkungan merupakan hal yang mendesak dilakukan di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata dan semakin banyaknya perempuan yang terlibat di sektor perikanan. Sebagai kelompok rentan, hak perempuan untuk mendapatkan kesejahteraan yang setara dengan laki-laki di sektor perikanan masih terabaikan. Perlu kebijakan-kebijakan khusus dari pemerintah untuk memberikan akses modal, teknologi, dan perlindungan dari seksual kepada para perempuan di sektor perikanan.