Siaran Pers INFID Webinar Series Perempuan dan COVID-19 #5



Siaran Pers INFID Webinar Series Perempuan dan COVID-19 #5 “Refleksi Efektivitas Kebijakan Dispensasi Perkawinan Usia Anak Di Masa Pandemi COVID-19” Jumat, 14 Agustus 2020

Pada 14 Agustus 2020, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) telah menyelenggarakan INFID Webinar Series Perempuan dan COVID-19 #5. Webinar tersebut mengangkat tema “Refleksi Efektifitas Kebijakan Dispensasi Perkawinan Usia Anak di Masa Pandemi COVID-19”. Tema ini dipilih mengingat hingga hari ini praktik perkawinan usia anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga menyebutkan, bahwa Indonesia merupakan negara ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN setelah Kamboja dengan perkawinan anak terbanyak.

Selain itu, pandemi COVID-19 yang merebak di Indonesia sejak awal Maret 2020 turut menambah jumlah praktik perkawinan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bahkan menyatakan sejak pandemi COVID-19, perkawinan usia anak tercatat mencapai 24 ribu. Data tersebut bersumber dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) yang menangani pemberian dispensasi kawin.

Lenny N. Rosalin selaku Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPPA menyampaikan, bahwa sesungguhnya inisiasi pencegahan perkawinan anak sudah dilakukan sejak lama oleh KPPPA melalui Kabupaten/Kota Layak Anak. Tidak hanya itu, KPPPA juga telah memiliki delapan upaya pencegahan perkawinan anak, diantaranya melalui forum anak, dengan menjadikan anak sebagai pelopor dan pelapor. Sinergitas dalam pencegahan perkawinan anak juga dilakukan bersama lembaga kesehatan, melalui konseling kespro remaja dengan menggarap 1.884 puskesmas. Lenny menambahkan, bahwa masyarakat tidak luput dilibatkan dalam sosialisasi dan kampanye pencegahan perkawinan anak untuk menuju Indonesia Layak Anak 2030.

Merespon naiknya angka dispensasi perkawinan anak setelah revisi UU Perkawinan No.16 tahun 2019, Mardi Chandra selaku Hakim Yustisial Mahkamah Agung Republik Indonesia menyampaikan, bahwa hal tersebut bisa menyiratkan beberapa makna. Mardi menyatakan bahwa peningkatan perkara dispensasi kawin anak memperlihatkan adanya kesadaran hukum di masyarakat, karena perkawinan anak tanpa dispensasi memiliki ancaman hukum yang berat. Ancaman hukuman tersebut juga memunculkan kesadaran dan ketakutan dari masyarakat. Lebih lanjut Mardi mengatakan bahwa peningkatan perkara dispensasi kawin anak juga bermakna pupusnya perkawinan ilegal atau kawin siri pada usia anak.

Pembicara ketiga, adalah Iyan Erdiyana, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (DPPKBP3A) Kabupaten Cirebon. Iyan menyampaikan bahwa perkawinan anak di Kabupaten Cirebon umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Kesulitan ekonomi mendorong orang tua menikahkan anaknya dengan keluarga atau pria yang lebih mapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain faktor ekonomi, hamil di luar nikah juga menjadi faktor dominan penyebab perkawinan anak di Kabupaten Cirebon. Akan tetapi, dalam upaya mengatasi perkawinan anak, Kabupaten Cirebon telah memiliki Perda yang memandatkan pembentukan gugus tugas pencegahan perkawinan anak di tingkat kecamatan. Iyan juga mengatakan, bahwa selain melalui edukasi dan sosialisasi, pencegahan perkawinan anak juga difokuskan pada perluasan lapangan pekerjaan serta pembukaan pelatihan kerja. Hal tersebut untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi dunia kerja, sekaligus agar lebih siap dalam peningkatan ekonominya.

Mike Verawati, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) selaku pembicara terakhir menyampaikan beberapa intervensi yang telah dilakukan KPI sebagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Sebagai upaya pencegahan, KPI mengupayakan keterlibatan anak muda untuk aktif menyuarakan dan berkampanye tentang pencegahan perkawinan anak secara offline dan online. Lebih lanjut, KPI juga mendorong peraturan turunan dari UU no 16 Tahun 2019 tentang revisi UU no 1 Tahun 1974 dalam peraturan daerah dan peraturan desa. “Tidak lupa, pelibatan tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat menjadi penting sebagai upaya pencegahan terhadap perkawinan anak,” tuturnya. Lebih lanjut Mike menyampaikan, bahwa perkawinan anak dengan berbagai aspek dan akar masalah didalamnya tidak hanya dapat diselesaikan dengan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan saja. Menciptakan mekanisme yang dapat membantu anak ketika mereka dihadapkan pada persoalan yang mengharuskan menikah di usia anak juga menjadi hal penting yang perlu dikuatkan.

Narahubung: Intan Kusuma ([email protected])