Peluncuran Hasil Survei Ketimpangan Menurut Persepsi Warga 2017


  • Thursday, 08 February 2018 13:42
  • Artikel , Berita
  • 0 Berkas di unduh
  • 4296x dibaca.

INFID, Jakarta – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) kembali melakukan penelitian mengenai ketimpangan sosial menurut persepsi warga. Survei ini merupakan yang ketiga kalinya setelah sebelumnya juga dilakukan pada tahun 2015 dan 2016. Pada tahun 2017 ini, survei dilakukan dari bulan Agustus sampai Oktober 2017 kepada 2.250 partisipan di 34 provinsi di Indonesia.

Berdasarkan Survei Ketimpangan Sosial Menurut Persepsi Warga 2017, INFID menemukan adanya kenaikan indeks ketimpangan menjadi 5,6 dari yang sebelumnya 4,4 di tahun 2016. Ini artinya, setiap warga menilai ada 5-6 ranah yang timpang di Indonesia.

Dari 10 ranah yang dinilai warga menjadi sumber ketimpangan tertinggi, ranah penghasilan dianggap sebagai ranah yang paling berkontribusi terhadap ketimpangan sosial. Kemudian disusul oleh pekerjaan, rumah/tempat tinggal, harta benda, kesejahteraan keluarga, pendidikan, lingkungan tempat tinggal, keterlibatan dalam politik, hukum, dan kesehatan.

Melihat hal ini, Senior Program Officer SDGs INFID, Hamong Santono, menekankan pentingnya menggunakan perspektif yang lebih luas dalam memandang dan mengatasi masalah ketimpangan di Indonesia. Menurutnya, pemerintah tak boleh hanya menggunakan ukuran rasio gini semata.

“Pemerintah tidak bisa hanya menjadikan gini ratio sebagai ukuran. Karena berdasarkan survei ini, masalah ketimpangan yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat bukan hanya soal ketimpangan pendapatan, sedangkan gini rasio hanya mengukur ketimpangan pendapatan saja,” ungkap Hamong.

Memang, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis September 2017 lalu, rasio gini Indonesia saat ini berada di angka 0,391. Rasio gini sendiri terus menurun sejak tahun 2014 silam, kala itu rasio gini berada pada angka 0,414 kemudian menjadi 0,402 di tahun 2015 dan 0,394 pada 2016. Hal ini menunjukkan adanya penurunan tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia, yang justru berkebalikan dari temuan terbaru INFID.

Tak hanya menyoroti persepsi ketimpangan yang dirasakan warga, INFID juga memberikan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah. Hal ini disampaikan oleh peneliti utama survei ketimpangan sosial, Dr. Bagus Takwin. Solusi mengatasi ketimpangan yang perlu dilakukan oleh pemerintah yang pertama adalah meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja. Hal ini dapat berupa pemberian tunjangan uang atau asuransi bagi warga yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kedua, memulihkan dan memberikan penekanan yang lebih atas pembangunan sumber daya manusia (SDM). Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk pemberian tunjangan pelatihan kerja bagi warga berusia di atas 30 tahun, pelatihan sektoral, magang, dan program kerja sambil belajar.

Ketiga, perbaikan Undang-Undang Perpajakan agar dapat mengakomodasi potensi pendapatan pajak dan realitas kekayaan kelompok super kaya di Indonesia. Keempat, realokasi dana 5-10 persen untuk meningkatkan investasi SDM perempuan dari anggaran pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Realokasi dana 5-10 persen perlu dilakukan untuk meningkatkan investasi SDM, khususnya perempuan dari anggaran pendidikan di APBN. Juga harus ada insentif bagi penciptaan lapangan kerja di kota atau kabupaten,” ungkap Bagus Takwin.

Selain itu, ia juga menyoroti perlunya pemberian bantuan konsultasi dan agen pencarian kerja. “Rekomendasi terakhir, yakni bantuan konsultasi dan agen pencarian kerja,” pungkasnya.

Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas Kantor Staf Presiden RI, Yanuar Nugroho, yang hadir sebagai penanggap dalam acara peluncuran hasil survei di Jakarta pada 8 Februari 2018 lalu, mengakui bahwa penurunan ketimpangan adalah salah satu fokus utama pemerintah Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah yang dirasa masih terisolasi. Ia juga mengapresiasi riset ketimpangan sosial yang dilakukan INFID. Hasil penelitian ini menurutnya dapat menjadi bahan masukan penting karena menangkap perspektif masyarakat sebagai penerima layanan sosial.