Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) perlu disambut baik oleh banyak pihak. Capaian ini adalah babak baru dari perjalanan konstruksi gender dan serba-serbi kebijakannya di Indonesia menuju arah yang lebih progresif. Sejumlah hal harus ditata untuk menopang akuntabilitas implementasi UU TPKS. No one left behind, tak boleh seorang pun tersisih.
Kita tahu bahwa perjuangan advokasi UU TPKS telah berlangsung kurang lebih sejak sepuluh tahun lalu oleh banyak pihak yang menggarisbawahi kerentanan dan kekurangan dalam instrumen hukum untuk penanganan kasus kekerasan seksual saat itu. UU TPKS menyediakan kebaruan pengertian definisi kekerasan seksual yang lebih rinci, dan konsep mekanisme penanganan serta pelindungan yang lebih kongkrit bagi pemuliaan korban kekerasan seksual.
Pada tahun 2020 lalu, INFID sebenarnya telah melakukan riset serupa, namun dengan konteks tujuan yang berbeda. Saat itu UU TPKS masih berbentuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). RUU P-KS muncul berbarengan dengan wacana perubahan Undang-Undang Perkawinan. Sehingga, perlu untuk meninjau keterkaitan antar keduanya, persepsi pemangku kebijakan terhadap RUU P-KS, dan potensi pemecahan masalah yang mungkin bisa diselesaikan oleh RUU ini, dan efektifitas perubahan UU Perkawinan untuk menghapus perkawinan anak di Indonesia.
Kali ini, banyak perubahan dan capaian telah terjadi, dari mulai perubahan nama RUU P-KS, disahkannya UU TPKS di bulan Mei 2022, hingga evolusi ragam motif, pelaku, dan modus kasus-kasus kekerasan seksual selama pandemi Covid-19. Dalam konteks inilah, riset ini diarahkan untuk memetakan tantangan apa saja yang mungkin muncul dalam proses implementasi UU TPKS, dan model operasionalisasi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk memastikan regulasi ini berjalan efektif dan akuntabel.
Selama bulan Juli – Agustus 2022, dengan pendekatan yuridis-empiris, riset ini menjahit antara substansi hukum yang ada di dalam UU TPKS dan studi lapangan berupa diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara agar terbentuk satu potret resiprokal antara apa yang dikehendaki oleh regulasi dan apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat secara utuh. Hasilnya adalah satu pembahasan topik yang cukup besar dan luas, dari mulai level pelaporan hingga level pemulihan korban, yang tiap bagian tertentu bisa memberi manfaat bagi pihak manapun yang membutuhkan basis ilmiah untuk membantu implementasi UU TPKS di level apapun.
Dua temuan signifikan diantaranya adalah tentang Dana Bantuan Korban (DBK) dan pemerataan Unit Pelaksana Teknis Daerah – Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA). Sejumlah negara telah memiliki mekanisme memadai untuk pengelolaan dan penyaluran DBK. Indonesia bisa mengadopsi hal serupa. DBK dapat dikumpulkan baik itu dari pajak, non-pajak, ataupun kontribusi dari masyarakat. Selain untuk keperluan pemulihan korban, DBK juga menjadi token menjanjikan untuk optimalisasi kinerja UPTD-PPA, khususnya hal-hal yang menyangkut well-being korban.
Sayangnya, ketersediaan UPTD-PPA saat ini belum merata di Indonesia. Oleh karena itu, pemerataan UPTD-PPA menjadi salah satu kunci utama suksesi implementasi UU TPKS. Pemerataan UPTD-PPA juga otomatis membutuhkan distribusi psikolog dan ahli gender di daerah-daerah agar operasionalisasi sehari-hari terjamin satu nafas dengan UU TPKS.
Jakarta, Oktober 2022
A.D. Eridani
Senior Program Officer INFID