INFID, Jakarta – Tahun 2018 menjadi tahun yang penting sekaligus ambisius bagi INFID. Seperti diketahui bersama, tahun 2018 merupakan tahun politik yang menentukan bagi arah kontestasi politik Indonesia jelang pemilu presiden dan legislatif tahun 2019 mendatang.
INFID sebagai organisasi masyarakat sipil yang kini memasuki usia ke-33 tahun, mengemban tugas besar untuk turut mengawal dan memastikan proses demokratisasi di Indonesia berjalan sesuai dengan nilai dan prinsip hak asasi manusia (HAM), pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial.
Pada saat yang sama, INFID sebagai forum organisasi masyarakat sipil Indonesia juga dituntut memainkan perannya dalam membangun jaringan dan kemitraan di tingkat global. Hal ini juga sejalan dengan status INFID sebagai organisasi masyarakat sipil yang memiliki status konsultatif pada ECOSOC Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Berkaitan dengan tugas dan amanat yang diemban, pada awal tahun 2018 ini INFID telah bergerak cepat dengan menyusun rencana kerja strategis untuk periode 2017 hingga 2021. Langkah ini sesuai dengan keputusan Sidang Umum Anggota INFID yang diadakan pada akhir tahun 2017 lalu. Selain memilih kepengurusan baru, Sidang Umum Anggota INFID juga menetapkan tiga program yang akan menjadi area atau fokus kerja INFID selama tiga tahun ke depan yaitu pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan, penurunan ketimpangan, serta HAM dan demokrasi.
Pada rapat kerja yang berlangsung selama dua hari (27-28 Februari 2018), INFID membahas beberapa hal strategis termasuk situasi dan tren ketiga tema yang menjadi program INFID, partisipasi anggota dan jaringan, serta tren pendanaan dalam negeri dan kemungkinan perubahan-perubahan kebijakan yang dapat membantu akses dana hibah kompetitif bagi masyarakat sipil terutama di daerah.
Selain melibatkan anggota Dewan Pengurus, Badan Pengawas, dan staf Sekretariat INFID, Renstra kali ini juga mendatangkan beberapa narasumber kunci. Mereka antara lain Zumrotin K. Susilo dan Abetnego Tarigan yang pernah menjadi Board INFID, Dini Widiastuti dari Plan International, dan juga Paramita Mohamad dari Communication for Change.