Diskusi Virtual untuk Percepatan Transformasi SDGs di Kawasan Asia Pasifik


  • Monday, 27 April 2020 03:03
  • Artikel , Berita
  • 0 Berkas di unduh
  • 5721x dibaca.

(Partisipasi Virtual pada Rangkaian Asia-Pacific Forum on Sustainable Development/APFSD 30 Maret – 08 April 2020)

Meskipun dalam dekade terakhir kawasan Asia Pasifik mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi kawasan ini belum bisa lepas dari predikat “wilayah dengan jumlah orang miskin terbesar di dunia”. Sekitar 400 juta warganya hidup dalam kemiskinan ekstrem di bawah ambang batas $1,90 per hari. Pada standar kemiskinan internasional yang lebih tinggi ($ 3,20/hari), jumlah orang miskin naik menjadi 1,2 miliar atau lebih dari seperempat total populasi di kawasan Asia Pasifik.

Kemiskinan mengancam pemenuhan pendidikan dasar, peningkatan keahlian, serta kecukupan nutrisi yang dapat menyebabkan stunting (kondisi gagal pertumbuhan pada anak). Semua ini adalah hak dasar yang sudah selayaknya didapatkan oleh setiap orang.

Kondisi tersebut menyiratkan pertanyaan, mengapa percepatan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik belum dapat dirasakan manfaatnya secara merata oleh semua lapisan masyarakat? Apakah konsep pembangunan yang diterapkan saat ini sudah mampu memenuhi kebutuhan, tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan pada generasi mendatang?

Pencarian jawaban di atas barangkali relevan dengan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Untuk itu, The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) baru saja menyelenggarakan rangkaian webinar virtual mengenai percepatan transformasi pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia Pasifik dari tanggal 24 Maret hingga 8 April 2020. Diskusi virtual ini sejatinya adalah pertemuan reguler tahunan sebagai bahan input dari negara kawasan Asia Pasifik kepada Forum Politik Tingkat Tinggi untuk Pembangunan Berkelanjutan (High Level Political Forum SDGs) pada bulan Juli di New York. Namun, karena situasi pandemi COVID-19, maka kegiatan reguler tahunan yang diadakan di Bangkok ini kemudian berubah menjadi event virtual.

Memahami bahwa banyak negara yang memiliki tantangan pembangunan dengan aspirasi dan konteks pembangunan yang berbeda, ESCAP memfasilitasi diskusi virtual untuk berbagi praktik baik, serta pengalaman yang memungkinkan penguatan kerja sama regional. Tema yang diangkat untuk konferensi The Asia-Pacific Forum on Sustainable Development (APFSD) yang ke-7 yaitu “Accelerating action on, and delivery of, the 2030 Agenda for Sustainable Development in Asia and the Pacific”. Diskusi virtual ini diikuti oleh peserta dari pemerintah, organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, komunitas pembangunan, major groups dan pihak kepentingan lainnya dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

Rangkaian webinar dibagi menjadi beberapa series diantaranya yaitu a) Webinar untuk mempersiapkan Voluntary National Reviews (VNR) 2020 pada tanggal 24 Maret 2020 b) Webinar dengan tema percepatan transformasi dan kemajuan regional untuk SDGs pada 30 Maret 2020 dan c) Webinar meninjau enam entry points untuk percepatan aksi pencapaian SDGs yang dilaksanakan selama enam hari pada 31 Maret sampai 8 April 2020.

Secara general, dalam sisi substansi diskusi, tidak ada satupun negara di Kawasan Asia Pasifik yang mampu memenuhi target SDGs. Walaupun ada kemajuan yang signifikan pada beberapa tujuan seperti pendidikan berkualitas (goal 4), namun pencapaian pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan (goal 12) dan perubahan iklim (goal 13) menunjukkan kemunduran.

Hal lainnya, beberapa kemitraan publik-swasta (Public Private Partnership/PPP) yang terjadi di Asia Pasifik ditengarai bersifat eksploitatif dan tidak menjamin akses publik. Selain itu, banyak negara di Asia Pasifik mengalokasikan lebih banyak anggaran pemerintah untuk militer daripada pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Pengeluaran untuk perlindungan sosial di negara-negara Asia Pasifik saat ini juga masih rendah yaitu kisaran 28,1%, dibandingkan dengan rata-rata global yang menyentuh angka 34,9%. Dengan laju perubahan saat ini, bahkan dibutuhkan waktu 217 tahun untuk menutup kesenjangan upah dan pekerjaan antara perempuan dan laki-laki (WEF, 2019).

Dalam konteks nasional, pencapaian Indonesia selayaknya patut untuk diapresiasi. Indonesia menjadi salah satu dari dua negara di Kawasan Asia Pasifik yang berhasil meraih pencapaian relatif tinggi dalam empat entry points. Dalam bidang ekonomi, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia meningkat 5,5% dibandingkan dengan tahun 2018. Pertumbuhan tersebut berhasil diterjemahkan dalam penurunan angka kemiskinan yang pertama kali menyentuh single digit yaitu 9,22 % per September 2019 dan penurunan angka pengangguran per Agustus 2019 menjadi 5,28 %. Selain itu, angka inflasi menyentuh angka 2,72% pada tahun 2019, terendah selama 10 tahun terakhir. Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio per September 2019 juga berada di angka 0,380, turun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018.

Dalam bidang pangan berkelanjutan, berdasarkan indikator prevalensi kekurangan konsumsi pangan (prevalence of undernourishment/PoU) dengan menggunakan pendekatan minimum dietary energy requirement/MDER, angka masyarakat yang kekurangan konsumsi pangan menurun dari 8,93% di 2016 menjadi 7,95% di 2018 (BPS, 2019). Selain itu, pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk mendorong pengarusutamaan gender dalam pengelolaan lingkungan dan hutan yang berkelanjutan.

“Di Indonesia, masalah lingkungan selalu berkaitan dengan perilaku yang dimana perempuan memiliki peran pertama dan terpenting dalam upaya mendorong perubahan perilaku tersebut. Pengarusutamaan gender dalam konteks pengelolaan lingkungan dan hutan dapat dilakukan dalam berbagai aktivitas seperti pengelolaan limbah, bank sampah, perhutanan sosial dan lainnya. Penggabungan lensa gender secara sistematis dalam penerapan ekonomi sirkuler dan pemahaman tentang perilaku konsumen telah menciptakan paradigma ekonomi baru. Dalam paradigma ini, perempuan yang kerap menjadi “penjaga” pengetahuan dan nilai-nilai keberlanjutan lokal akan turut memastikan “transisi yang adil” untuk semua. Upaya ini salah satunya diterjemahkan dalam pengelolaan sampah dimana sekitar 80 persen dari sekitar 8.036 Bank Sampah di Indonesia didorong oleh penggerak perempuan” (Khulfi, MoEF Indonesia)”

Terkait dengan akses energi, kemudahan akses mendapatkan listrik di Indonesia mengalami peningkatan pesat. Dalam indikator survey Getting Electricity oleh World Bank, Indonesia berada di urutan 33 dari 190 negara pada tahun 2019, naik 68 tingkat dibandingkan tahun 2014. Menurut data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kontribusi energi baru dan terbarukan untuk pembangkit listrik juga meningkat dari 12,23% di tahun 2018, menjadi 13,42% di tahun 2019.

Dalam sisi kepedulian lingkungan global, posisi Indonesia sebagai negara berkembang serta negara dengan hutan ketiga terluas di dunia tentu tidaklah mudah. Walaupun Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) sampai 1 Oktober 2019 naik 80,29 persen dari periode yang sama tahun 2018, komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga hutan diantaranya diterjemahkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 5 Agustus 2019. Regulasi mengenai moratorium hutan permanen tersebut berdampak terhadap pengurangan luas deforestasi signifikan dalam areal penundaan sekitar 38%.

Salah satu praktik baik Indonesia yang menjadi bahan paparan diskusi dalam tematik Pembangunan perkotaan dan peri-urban juga menarik untuk di scale up. Inisiatif yang berasal dari Kota Pahlawan pada tahun 2014 lalu dikenal sebagai “Program Kampung Hijau”. Program inovatif ini mengombinasikan konsep perencanaan tata kota seperti desentralisasi pengambilan keputusan, mendorong demokrasi lokal, perencanaan dan penganggaran yang partisipatif, serta manajemen lingkungan. Kampung Hijau bahkan telah berhasil menggunakan sistem pengelolaan limbah padat berbasis masyarakat, yang mengarah pada peningkatan pendapatan, lapangan kerja dan penurunan penyakit di antara lebih dari 100.000 rumah tangga yang berpartisipasi.

Namun, dengan berbagai pencapaian tersebut, bukan berarti pekerjaan rumah Indonesia telah selesai. Apabila menilik lebih jauh, walaupun ada peningkatan GDP per capita, Indonesia merupakan negara ketiga setelah India dan China yang memiliki populasi miskin terbanyak dikawasan Asia Pasifik yang hidup dengan kurang dari US $ 3,10/hari. Selain itu, walaupun angka pengangguran di Indonesia tahun 2019 turun, berdasarkan data BPS per Februari 2019, sebanyak 57,27% disumbang oleh sektor informal. Hal ini patut menjadi perhatian karena pekerja informal tidak membayar pajak kepada pemerintah sehingga bisa menurunkan pendapatan negara. Selain itu, para pekerja informal rentan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan karena rendahnya pengawasan lingkungan kerja serta minimnya pengetahuan mengenai asuransi/jaminan sosial.

Untuk kesehatan, meskipun persentase stunting menurun dan memenuhi target SDGs tahun 2019, tetapi angka 27,7 % dinilai masih tinggi apabila dibandingkan dengan standar maksimal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni sebesar 20 persen. Keadaan ini seharusnya segera diatasi karena stunting dapat menyebabkan kemiskinan antar-generasi, menghilangkan 11 persen produk domestik bruto (PDB) dan mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen (World Bank).

Mirisnya, kondisi ini akan diperparah dengan situasi pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia. COVID-19 berkaitan erat dengan tujuan SDGs nomor 3 “menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia”. Xenophobia, diskriminasi, kelompok rentan dan terdampak serta transparansi dan akuntabilitas menjadi topik yang menjadi perhatian peserta webinar. Di Filipina, COVID 19 menunjukkan keadaaan kemiskinan dan ketimpangan yang sebenarnya. Perempuan, anak-anak, lansia, dan masyarakat adat tidak terakomodasi dengan baik. Respon Pemerintah Filipina yang menggunakan pendekatan militer, tidak didukung dengan rencana yang jelas dan terpadu. Selanjutnya, dalam webinar virtual tersebut, kelompok rentan dan terdampak juga banyak disuarakan oleh masyarakat sipil. Salah satu diantaranya adalah Eni Lestari, pekerja domestik dari Indonesia yang tinggal di Hong Kong dan berperan sebagai ketua Aliansi Migran Internasional (IMA). Dalam kesempatan tersebut beliau menyatakan:

“Wabah COVID-19 menghadirkan realitas kota yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat mereka. Ketika karantina dilaksanakan, ketika ancaman pengangguran massal terjadi, saat stimulus paket bersifat eksklusif, dan ketika orang miskin tidak mendapatkan apa-apa selain beberapa barang dan kaleng dari pemerintah lokal dan nasional, saat itu juga kita pantas mendapatkan lebih baik”

Suara-suara dari masyarakat inilah yang seyogyanya didengar dan dirangkul oleh pemerintah untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Pada setiap webinar, tidak lupa panitia penyelenggara menyediakan alternatif rekomendasi kebijakan untuk didiskusikan dan ditentukan prioritasnya.

Berbagai rekomendasi kebijakan tersebut diantaranya:

Perluas perlindungan sosial untuk semua Tinjau kebijakan dan investasi nasional untuk mengintegrasikan gizi dalam kebijakan pangan dan pertanian Tingkatkan kerja sama antara pemerintah, bisnis dan warga untuk produksi dan konsumsi berkelanjutan Perkuat komitmen politik untuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan terpadu Percepat desentralisasi untuk memastikan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab, wewenang, sumber daya, dan kapasitas yang tepat untuk mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan Perkuat komitmen politik untuk meningkatkan konektivitas jaringan listrik Selanjutnya, hasil dari diskusi virtual akan dikembangkan dan dibagikan kepada negara-negara anggota agar dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan. Tentunya, pemahaman dan inisiatif baik yang muncul dalam diskusi hanya akan menjadi sebuah narasi politik tanpa didukung komitmen yang tinggi dan tindak lanjut dari semua pihak khususnya negara. Pada konteks ini tindakan multilateral dan kesepakatan pada tingkat lebih tinggi atau global diperlukan agar dapat menjadi tujuan dan praktek bersama.

Penulis: Denisa Amelia Kawuryan / Program Assistant SDGs INFID